Kamis, 18 Desember 2025

Opini: Aceh dalam Banjir 2025 – Ketika Manusia dan Solidaritas Diuji




Desember 2025 di Aceh bukan sekadar musim hujan. Ini adalah bulan di mana air tiba-tiba menguasai hidup orang-orang. Sungai-sungai meluap, jalan-jalan berubah jadi sungai, rumah-rumah terendam. Ribuan orang mengungsi dengan membawa hanya barang paling penting. Anak-anak menggenggam mainan, orang tua menenteng dokumen, semua bergerak dalam panik tapi dengan tekad untuk bertahan. Statistik mengatakan lebih dari seribu meninggal, puluhan ribu mengungsi, tapi angka itu hanya sebagian kecil dari cerita yang sebenarnya. Rasa takut, kehilangan, dan ketidakpastian dirasakan setiap individu.


Di tengah kegelapan itu, solidaritas warga Aceh muncul begitu kuat. Tetangga mengevakuasi satu sama lain, membagi makanan, air, dan selimut seadanya. Ada cerita pemuda yang menenteng sepeda seorang anak melawan arus air, ibu-ibu yang berbagi nasi kepada keluarga yang terjebak di rumah, dan relawan lokal yang mendirikan dapur umum di tengah genangan. Cerita-cerita ini bukan sekadar “good news”, tapi bukti nyata bahwa manusia bisa tetap hangat dan peduli ketika sistem gagal.

Sayangnya, solidaritas hebat itu harus berjalan beriringan dengan kelemahan sistem. Bantuan pemerintah sering datang terlambat, distribusi logistik tidak merata, dan koordinasi antar lembaga masih tersendat. Banyak warga harus bertahan di rumah yang setengah terendam air, menunggu kapal evakuasi atau perahu nelayan. Trauma bukan hanya soal kehilangan rumah atau harta, tapi juga ketidakpastian. Kapan bantuan datang, apakah anak-anak aman, bagaimana bisa bertahan tanpa listrik atau air bersih.

Infrastruktur yang rapuh makin memperparah keadaan. Rumah dibangun di daerah rawan banjir, sungai tersumbat, jalan-jalan putus, sekolah dan fasilitas kesehatan terendam. Anak-anak kehilangan akses pendidikan, pasien kesulitan mendapat perawatan, dan pekerjaan warga lumpuh karena transportasi terhenti. Ini bukan sekadar bencana alam, tapi cermin kegagalan manusia dalam merencanakan dan menata lingkungan yang aman bagi warganya.

Banjir Aceh 2025 memberi pelajaran keras. Manusia bisa luar biasa, tapi sistem juga harus kuat. Solidaritas warga menonjol, tapi tanpa perencanaan dan mitigasi yang tepat, ketahanan itu terbatas. Saat air surut, yang harus dibangun bukan hanya rumah, tapi juga kesadaran kolektif, sistem tanggap bencana yang siap, dan infrastruktur yang tahan uji. Aceh mengingatkan kita bahwa bencana bukan hanya soal alam, tapi tentang bagaimana manusia merespons, bertahan, dan belajar dari tragedi.

Banjir ini menantang kita semua untuk peduli lebih, bertindak lebih, dan tidak lagi menganggap alam ekstrem sebagai sesuatu yang jauh. Ketika manusia diuji, solidaritas lah yang jadi penopang. Ketika sistem diuji, itulah yang menentukan seberapa banyak nyawa dan harapan yang bisa kita selamatkan.


Selasa, 02 Desember 2025

Jalan Terjal Menghapus Riba: Dari Advokasi KWPSI hingga Konversi Syariah



Oleh: Rifdah Nurantanzila

Perjalanan Bank Aceh menuju sistem syariah bukan sekadar perubahan administratif atau teknis, melainkan sebuah kisah panjang tentang advokasi, pemahaman, dan kesadaran sosial. Buku Jalan Terjal Menghapus Riba menceritakan bagaimana para jurnalis yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) memainkan peran penting dalam mendorong transformasi ini. Mereka bukan hanya menyuarakan pentingnya perbankan bebas riba, tetapi juga menjadi penghubung antara masyarakat dan institusi, memastikan prinsip-prinsip syariah dapat diterapkan dengan tepat dan transparan.

Dalam bab-bab awal buku ini, pembaca diajak menyelami tantangan yang dihadapi: mulai dari resistensi internal bank, persepsi masyarakat yang skeptis, hingga kompleksitas menjelaskan konsep murabahah secara jelas kepada nasabah. KWPSI berperan sebagai advokat sekaligus edukator, menekankan bahwa perubahan sistem perbankan harus dibarengi dengan pemahaman yang benar agar nasabah merasa aman dan puas. Setiap langkah mereka menunjukkan bahwa advokasi bukan hanya soal “mengubah aturan,” tetapi juga soal membangun kepercayaan dan kesadaran kolektif.

Buku ini tidak hanya menyoroti perjalanan advokasi, tetapi juga menekankan sisi filosofis perbankan syariah: transparansi, keadilan, dan kepastian dalam setiap transaksi. Pembaca diajak memahami bahwa meski nilai angsuran atau margin terlihat mirip dengan bunga pada bank konvensional, prinsip syariah memberikan kepastian dan bebas dari unsur spekulasi. Dengan pengantar ini, artikel berikut akan membahas dua fokus utama buku: pertama, perjuangan advokasi KWPSI dalam konversi Bank Aceh; kedua, konsepsi bank syariah sebagaimana dijabarkan dalam buku. Transisi yang halus antara kedua fokus ini akan membantu pembaca menangkap cerita lengkap dengan alur yang jelas dan reflektif.

Perjuangan Advokasi Wartawan KWPSI dalam Konversi Bank Aceh

Buku ini menyoroti peran penting para jurnalis yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) dalam mengawal proses konversi Bank Aceh menjadi bank syariah. Perjuangan ini bukan sekadar laporan berita, melainkan advokasi nyata yang mengedepankan kepentingan umat dan prinsip syariah dalam praktik perbankan. KWPSI secara konsisten menekankan bahwa penghapusan riba bukan hanya persoalan teologis, tetapi juga sosial dan ekonomi, demi kesejahteraan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Para wartawan KWPSI menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi internal, persepsi masyarakat yang belum memahami perbedaan bank konvensional dan bank syariah, serta tekanan dari pihak-pihak yang melihat bank sebagai mesin profit semata. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana wartawan KWPSI menggunakan pendekatan edukatif dan persuasif: mereka membuat tulisan yang mendidik, menyebarkan informasi tentang prinsip murabahah, qardul hasan, dan akad jual beli syariah, sekaligus meluruskan kesalahpahaman umum yang menganggap bank syariah sama saja dengan bank konvensional.

Proses advokasi juga melibatkan dialog intensif dengan manajemen bank, dewan pengawas syariah, dan tokoh masyarakat. KWPSI mendorong agar bank tidak hanya mengubah label atau jargon syariah, tetapi benar-benar menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam operasional. Misalnya, memastikan setiap dana pembiayaan digunakan sesuai akad, transparansi margin, dan memberikan pemahaman menyeluruh kepada nasabah agar bisa membuat keputusan finansial yang tepat.

Kisah ini menunjukkan bagaimana jurnalis bukan sekadar pengamat, tapi juga agen perubahan sosial. KWPSI memanfaatkan perannya untuk menciptakan kesadaran kolektif, mengurangi praktik riba, dan memajukan ekonomi syariah di Aceh. Konversi Bank Aceh menjadi bank syariah pun bukan proses instan, melainkan hasil kolaborasi antara pengawas, manajemen, masyarakat, dan advokasi wartawan, yang terus menekankan prinsip keadilan, transparansi, dan kepastian hukum dalam perbankan.

Konsepsi Bank Syariah Versi Buku

Dalam buku ini, bank syariah dipaparkan sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip Islam, khususnya bebas dari riba, gharar, dan maisir. Fokus utama adalah menciptakan transaksi yang halal dan adil bagi semua pihak. Produk unggulannya, murabahah, dijelaskan sebagai jual beli barang dengan margin keuntungan yang disepakati di awal, sehingga nasabah mengetahui total kewajiban sejak awal dan tidak terkena unsur spekulatif.

Penulis menekankan pentingnya aqad yang jelas. Bank syariah harus memastikan bahwa dana yang disalurkan benar-benar untuk pembelian barang yang dimaksud, bukan untuk keperluan lain. Dewan Pengawas Syariah bertugas memastikan kepatuhan ini, sehingga prinsip syariah tidak hanya menjadi jargon, melainkan praktik nyata. Transparansi margin dan hak nasabah untuk memahami kewajiban mereka menjadi inti dari pelayanan bank syariah yang humanis.

Buku ini juga membahas persepsi masyarakat yang menganggap bank syariah mirip dengan bank konvensional. Padahal, perbedaan mendasar terletak pada dasar transaksi dan kepastian pembayaran. Dalam bank konvensional, bunga mengambang bisa menimbulkan ketidakpastian dan risiko spekulasi, sementara pada bank syariah, margin ditetapkan di awal sehingga nasabah dapat merencanakan pembayaran tanpa khawatir terjadi perubahan jumlah yang harus dibayar.

Selain itu, bank syariah tidak hanya mengejar keuntungan maksimal. Buku ini menekankan tanggung jawab sosial, di mana prinsip humanis dan keadilan menjadi bagian dari operasional. Sistem proporsional dalam pelunasan, transparansi informasi, dan edukasi nasabah menjadi strategi untuk menumbuhkan kepercayaan, mengurangi miskonsepsi, serta meningkatkan literasi keuangan berbasis syariah. Konsepsi ini mencerminkan bank syariah sebagai lembaga yang berorientasi pada kesejahteraan dan kepastian hukum, bukan sekadar profit semata.

Secara keseluruhan, buku ini memberikan pemahaman mendalam tentang perjuangan advokasi, prinsip operasional, dan filosofi bank syariah di Aceh. KWPSI hadir sebagai penghubung antara masyarakat dan bank, memastikan proses konversi tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar menghapus praktik riba, sambil membangun bank yang transparan, adil, dan humanis.


Banda Aceh, 2 Desember 2025


Penulis, Rifdah Nurantanzila adalah Mahasiswa Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Opini: Aceh dalam Banjir 2025 – Ketika Manusia dan Solidaritas Diuji

Desember 2025 di Aceh bukan sekadar musim hujan. Ini adalah bulan di mana air tiba-tiba menguasai hidup orang-orang. Sungai-sungai meluap, j...