Desember 2025 di Aceh bukan sekadar musim hujan. Ini adalah bulan di mana air tiba-tiba menguasai hidup orang-orang. Sungai-sungai meluap, jalan-jalan berubah jadi sungai, rumah-rumah terendam. Ribuan orang mengungsi dengan membawa hanya barang paling penting. Anak-anak menggenggam mainan, orang tua menenteng dokumen, semua bergerak dalam panik tapi dengan tekad untuk bertahan. Statistik mengatakan lebih dari seribu meninggal, puluhan ribu mengungsi, tapi angka itu hanya sebagian kecil dari cerita yang sebenarnya. Rasa takut, kehilangan, dan ketidakpastian dirasakan setiap individu.
Sayangnya, solidaritas hebat itu harus berjalan beriringan dengan kelemahan sistem. Bantuan pemerintah sering datang terlambat, distribusi logistik tidak merata, dan koordinasi antar lembaga masih tersendat. Banyak warga harus bertahan di rumah yang setengah terendam air, menunggu kapal evakuasi atau perahu nelayan. Trauma bukan hanya soal kehilangan rumah atau harta, tapi juga ketidakpastian. Kapan bantuan datang, apakah anak-anak aman, bagaimana bisa bertahan tanpa listrik atau air bersih.
Infrastruktur yang rapuh makin memperparah keadaan. Rumah dibangun di daerah rawan banjir, sungai tersumbat, jalan-jalan putus, sekolah dan fasilitas kesehatan terendam. Anak-anak kehilangan akses pendidikan, pasien kesulitan mendapat perawatan, dan pekerjaan warga lumpuh karena transportasi terhenti. Ini bukan sekadar bencana alam, tapi cermin kegagalan manusia dalam merencanakan dan menata lingkungan yang aman bagi warganya.
Banjir Aceh 2025 memberi pelajaran keras. Manusia bisa luar biasa, tapi sistem juga harus kuat. Solidaritas warga menonjol, tapi tanpa perencanaan dan mitigasi yang tepat, ketahanan itu terbatas. Saat air surut, yang harus dibangun bukan hanya rumah, tapi juga kesadaran kolektif, sistem tanggap bencana yang siap, dan infrastruktur yang tahan uji. Aceh mengingatkan kita bahwa bencana bukan hanya soal alam, tapi tentang bagaimana manusia merespons, bertahan, dan belajar dari tragedi.
Banjir ini menantang kita semua untuk peduli lebih, bertindak lebih, dan tidak lagi menganggap alam ekstrem sebagai sesuatu yang jauh. Ketika manusia diuji, solidaritas lah yang jadi penopang. Ketika sistem diuji, itulah yang menentukan seberapa banyak nyawa dan harapan yang bisa kita selamatkan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar