Kamis, 18 Desember 2025

Opini: Aceh dalam Banjir 2025 – Ketika Manusia dan Solidaritas Diuji




Desember 2025 di Aceh bukan sekadar musim hujan. Ini adalah bulan di mana air tiba-tiba menguasai hidup orang-orang. Sungai-sungai meluap, jalan-jalan berubah jadi sungai, rumah-rumah terendam. Ribuan orang mengungsi dengan membawa hanya barang paling penting. Anak-anak menggenggam mainan, orang tua menenteng dokumen, semua bergerak dalam panik tapi dengan tekad untuk bertahan. Statistik mengatakan lebih dari seribu meninggal, puluhan ribu mengungsi, tapi angka itu hanya sebagian kecil dari cerita yang sebenarnya. Rasa takut, kehilangan, dan ketidakpastian dirasakan setiap individu.


Di tengah kegelapan itu, solidaritas warga Aceh muncul begitu kuat. Tetangga mengevakuasi satu sama lain, membagi makanan, air, dan selimut seadanya. Ada cerita pemuda yang menenteng sepeda seorang anak melawan arus air, ibu-ibu yang berbagi nasi kepada keluarga yang terjebak di rumah, dan relawan lokal yang mendirikan dapur umum di tengah genangan. Cerita-cerita ini bukan sekadar “good news”, tapi bukti nyata bahwa manusia bisa tetap hangat dan peduli ketika sistem gagal.

Sayangnya, solidaritas hebat itu harus berjalan beriringan dengan kelemahan sistem. Bantuan pemerintah sering datang terlambat, distribusi logistik tidak merata, dan koordinasi antar lembaga masih tersendat. Banyak warga harus bertahan di rumah yang setengah terendam air, menunggu kapal evakuasi atau perahu nelayan. Trauma bukan hanya soal kehilangan rumah atau harta, tapi juga ketidakpastian. Kapan bantuan datang, apakah anak-anak aman, bagaimana bisa bertahan tanpa listrik atau air bersih.

Infrastruktur yang rapuh makin memperparah keadaan. Rumah dibangun di daerah rawan banjir, sungai tersumbat, jalan-jalan putus, sekolah dan fasilitas kesehatan terendam. Anak-anak kehilangan akses pendidikan, pasien kesulitan mendapat perawatan, dan pekerjaan warga lumpuh karena transportasi terhenti. Ini bukan sekadar bencana alam, tapi cermin kegagalan manusia dalam merencanakan dan menata lingkungan yang aman bagi warganya.

Banjir Aceh 2025 memberi pelajaran keras. Manusia bisa luar biasa, tapi sistem juga harus kuat. Solidaritas warga menonjol, tapi tanpa perencanaan dan mitigasi yang tepat, ketahanan itu terbatas. Saat air surut, yang harus dibangun bukan hanya rumah, tapi juga kesadaran kolektif, sistem tanggap bencana yang siap, dan infrastruktur yang tahan uji. Aceh mengingatkan kita bahwa bencana bukan hanya soal alam, tapi tentang bagaimana manusia merespons, bertahan, dan belajar dari tragedi.

Banjir ini menantang kita semua untuk peduli lebih, bertindak lebih, dan tidak lagi menganggap alam ekstrem sebagai sesuatu yang jauh. Ketika manusia diuji, solidaritas lah yang jadi penopang. Ketika sistem diuji, itulah yang menentukan seberapa banyak nyawa dan harapan yang bisa kita selamatkan.


Selasa, 02 Desember 2025

Jalan Terjal Menghapus Riba: Dari Advokasi KWPSI hingga Konversi Syariah



Oleh: Rifdah Nurantanzila

Perjalanan Bank Aceh menuju sistem syariah bukan sekadar perubahan administratif atau teknis, melainkan sebuah kisah panjang tentang advokasi, pemahaman, dan kesadaran sosial. Buku Jalan Terjal Menghapus Riba menceritakan bagaimana para jurnalis yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) memainkan peran penting dalam mendorong transformasi ini. Mereka bukan hanya menyuarakan pentingnya perbankan bebas riba, tetapi juga menjadi penghubung antara masyarakat dan institusi, memastikan prinsip-prinsip syariah dapat diterapkan dengan tepat dan transparan.

Dalam bab-bab awal buku ini, pembaca diajak menyelami tantangan yang dihadapi: mulai dari resistensi internal bank, persepsi masyarakat yang skeptis, hingga kompleksitas menjelaskan konsep murabahah secara jelas kepada nasabah. KWPSI berperan sebagai advokat sekaligus edukator, menekankan bahwa perubahan sistem perbankan harus dibarengi dengan pemahaman yang benar agar nasabah merasa aman dan puas. Setiap langkah mereka menunjukkan bahwa advokasi bukan hanya soal “mengubah aturan,” tetapi juga soal membangun kepercayaan dan kesadaran kolektif.

Buku ini tidak hanya menyoroti perjalanan advokasi, tetapi juga menekankan sisi filosofis perbankan syariah: transparansi, keadilan, dan kepastian dalam setiap transaksi. Pembaca diajak memahami bahwa meski nilai angsuran atau margin terlihat mirip dengan bunga pada bank konvensional, prinsip syariah memberikan kepastian dan bebas dari unsur spekulasi. Dengan pengantar ini, artikel berikut akan membahas dua fokus utama buku: pertama, perjuangan advokasi KWPSI dalam konversi Bank Aceh; kedua, konsepsi bank syariah sebagaimana dijabarkan dalam buku. Transisi yang halus antara kedua fokus ini akan membantu pembaca menangkap cerita lengkap dengan alur yang jelas dan reflektif.

Perjuangan Advokasi Wartawan KWPSI dalam Konversi Bank Aceh

Buku ini menyoroti peran penting para jurnalis yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) dalam mengawal proses konversi Bank Aceh menjadi bank syariah. Perjuangan ini bukan sekadar laporan berita, melainkan advokasi nyata yang mengedepankan kepentingan umat dan prinsip syariah dalam praktik perbankan. KWPSI secara konsisten menekankan bahwa penghapusan riba bukan hanya persoalan teologis, tetapi juga sosial dan ekonomi, demi kesejahteraan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Para wartawan KWPSI menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi internal, persepsi masyarakat yang belum memahami perbedaan bank konvensional dan bank syariah, serta tekanan dari pihak-pihak yang melihat bank sebagai mesin profit semata. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana wartawan KWPSI menggunakan pendekatan edukatif dan persuasif: mereka membuat tulisan yang mendidik, menyebarkan informasi tentang prinsip murabahah, qardul hasan, dan akad jual beli syariah, sekaligus meluruskan kesalahpahaman umum yang menganggap bank syariah sama saja dengan bank konvensional.

Proses advokasi juga melibatkan dialog intensif dengan manajemen bank, dewan pengawas syariah, dan tokoh masyarakat. KWPSI mendorong agar bank tidak hanya mengubah label atau jargon syariah, tetapi benar-benar menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam operasional. Misalnya, memastikan setiap dana pembiayaan digunakan sesuai akad, transparansi margin, dan memberikan pemahaman menyeluruh kepada nasabah agar bisa membuat keputusan finansial yang tepat.

Kisah ini menunjukkan bagaimana jurnalis bukan sekadar pengamat, tapi juga agen perubahan sosial. KWPSI memanfaatkan perannya untuk menciptakan kesadaran kolektif, mengurangi praktik riba, dan memajukan ekonomi syariah di Aceh. Konversi Bank Aceh menjadi bank syariah pun bukan proses instan, melainkan hasil kolaborasi antara pengawas, manajemen, masyarakat, dan advokasi wartawan, yang terus menekankan prinsip keadilan, transparansi, dan kepastian hukum dalam perbankan.

Konsepsi Bank Syariah Versi Buku

Dalam buku ini, bank syariah dipaparkan sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip Islam, khususnya bebas dari riba, gharar, dan maisir. Fokus utama adalah menciptakan transaksi yang halal dan adil bagi semua pihak. Produk unggulannya, murabahah, dijelaskan sebagai jual beli barang dengan margin keuntungan yang disepakati di awal, sehingga nasabah mengetahui total kewajiban sejak awal dan tidak terkena unsur spekulatif.

Penulis menekankan pentingnya aqad yang jelas. Bank syariah harus memastikan bahwa dana yang disalurkan benar-benar untuk pembelian barang yang dimaksud, bukan untuk keperluan lain. Dewan Pengawas Syariah bertugas memastikan kepatuhan ini, sehingga prinsip syariah tidak hanya menjadi jargon, melainkan praktik nyata. Transparansi margin dan hak nasabah untuk memahami kewajiban mereka menjadi inti dari pelayanan bank syariah yang humanis.

Buku ini juga membahas persepsi masyarakat yang menganggap bank syariah mirip dengan bank konvensional. Padahal, perbedaan mendasar terletak pada dasar transaksi dan kepastian pembayaran. Dalam bank konvensional, bunga mengambang bisa menimbulkan ketidakpastian dan risiko spekulasi, sementara pada bank syariah, margin ditetapkan di awal sehingga nasabah dapat merencanakan pembayaran tanpa khawatir terjadi perubahan jumlah yang harus dibayar.

Selain itu, bank syariah tidak hanya mengejar keuntungan maksimal. Buku ini menekankan tanggung jawab sosial, di mana prinsip humanis dan keadilan menjadi bagian dari operasional. Sistem proporsional dalam pelunasan, transparansi informasi, dan edukasi nasabah menjadi strategi untuk menumbuhkan kepercayaan, mengurangi miskonsepsi, serta meningkatkan literasi keuangan berbasis syariah. Konsepsi ini mencerminkan bank syariah sebagai lembaga yang berorientasi pada kesejahteraan dan kepastian hukum, bukan sekadar profit semata.

Secara keseluruhan, buku ini memberikan pemahaman mendalam tentang perjuangan advokasi, prinsip operasional, dan filosofi bank syariah di Aceh. KWPSI hadir sebagai penghubung antara masyarakat dan bank, memastikan proses konversi tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar menghapus praktik riba, sambil membangun bank yang transparan, adil, dan humanis.


Banda Aceh, 2 Desember 2025


Penulis, Rifdah Nurantanzila adalah Mahasiswa Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Minggu, 28 September 2025

Aceh Tak Hanya Islam: Resensi Buku 1 Kota 5 Agama

 


Judul Buku: 1 Kota 5 Agama di Aceh
Penulis: Murizal Hamzah, Hasan Basri M. Nur, Agamna Azka
Penerbit: Bandar Publishing
Jumlah Halaman: xxiv + 124 hlm
Peresensi: Rifdah Nurantanzila

Pendahuluan

Selama ini, Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekkah”, simbol kekuatan Islam di Indonesia, terutama sejak diterapkannya Syariat Islam secara resmi. Namun, bagaimana kehidupan pemeluk agama lain di tengah dominasi itu? Buku 1 Kota 5 Agama di Aceh hadir sebagai narasi alternatif untuk menjawab pertanyaan itu secara jujur dan empatik.

Buku ini tidak hanya mendekonstruksi stigma tentang Aceh sebagai wilayah eksklusif bagi umat Islam, tapi juga menghadirkan wajah Aceh yang lebih plural, terbuka, dan penuh dinamika toleransi sehari-hari.

Isi Buku

Buku ini menyajikan potret kehidupan lima agama yang hidup berdampingan di satu kota di Aceh. Meski tidak disebutkan secara eksplisit di awal kota mana yang dimaksud, kisah-kisah yang ditampilkan diambil dari pengalaman nyata para pemeluk Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Struktur penulisan mengalir dari latar sejarah masing-masing komunitas, pengalaman hidup sebagai minoritas, hingga relasi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, tempat kerja, bahkan saat merayakan hari besar keagamaan.

Setiap bab seolah membangun jembatan pemahaman antar-agama, tanpa harus menyamakan semuanya. Buku ini tidak menggurui, tapi lebih banyak membuka ruang untuk merenung dan berdialog.

Kelebihan Buku

Yang paling menonjol dari buku ini adalah keberhasilannya dalam membumikan narasi keberagaman dengan pendekatan yang hangat dan personal. Cerita-cerita yang diangkat terasa dekat dengan kehidupan masyarakat biasa, bukan dari sudut pandang elite atau tokoh agama saja.

Gaya bahasa yang digunakan juga ringan dan mudah dipahami, membuat buku ini cocok untuk dibaca oleh siapa pun pelajar, mahasiswa, guru, bahkan masyarakat umum yang tertarik pada isu keberagaman.

Bagi saya pribadi, buku ini sangat relevan karena menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang sering saya dapat sebagai orang Aceh, seperti: “Di Aceh ada gereja nggak sih?” atau “Kalau non-Muslim tinggal di Aceh, aman nggak?” Buku ini bisa jadi jawaban cerdas dan informatif untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Kekurangan Buku

Meski isi buku menarik, ada beberapa bagian yang terasa terlalu “padat data”, terutama saat membahas sejarah atau perkembangan komunitas keagamaan secara rinci. Untuk pembaca yang lebih suka narasi ketimbang angka dan data sejarah, bagian ini mungkin akan terasa lambat.

Selain itu, buku ini bisa lebih kuat jika dilengkapi dengan dokumentasi visual (misalnya foto rumah ibadah atau kegiatan lintas agama), agar pembaca bisa melihat langsung bukti hidup dari narasi yang disampaikan.

Penutup

Secara keseluruhan, 1 Kota 5 Agama di Aceh adalah buku yang patut diapresiasi. Ia membuka mata pembaca tentang kenyataan bahwa toleransi tidak harus selalu muncul dalam bentuk slogan besar tapi bisa tumbuh dari interaksi sederhana sehari-hari antarwarga yang berbeda keyakinan.

Buku ini sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami sisi lain Aceh: para peneliti, mahasiswa, pembuat kebijakan, atau bahkan wisatawan yang tertarik menjelajahi Aceh secara sosial-budaya, bukan hanya geografis.

Melalui buku ini, kita diajak melihat bahwa keberagaman di Aceh bukan mitos tapi kenyataan yang hidup, meski kadang tersembunyi di balik dominasi narasi tunggal.

 

Sabtu, 14 Juni 2025

Toilet Fakultas Dakwah: Bersih Tapi Bikin Merinding, Kenapa Harus Pakai Senter HP?

 

        Toilet Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry. Foto: Dokumentasi Pribadi


Banda Aceh, Sabtu, 14 Juni 2025 – Toilet Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry secara kasat mata tampak terjaga kebersihannya. Pada Sabtu siang saat dilakukan pengamatan lapangan, lantai terlihat kering, tak ada sampah berserakan, dan secara rutin dibersihkan oleh petugas kebersihan. Namun, di balik permukaan yang bersih itu, terselip persoalan yang tak kalah penting: pencahayaan yang minim, bahkan nyaris tidak ada.


Lampu yang mati, atau mungkin memang tak terseda sejak awal, membuat mahasiswa harus bergantung pada senter ponsel mereka setiap kali masuk. “Sering kali aku buka senter dulu sebelum masuk. Soalnya gelap banget, kayak masuk gua,” ujar Tara, mahasiswa KPI semester empat. Situasi ini tidak hanya menyulitkan, tapi juga menciptakan rasa tidak nyaman, apalagi bagi mahasiswa perempuan yang tentu membutuhkan rasa aman saat menggunakan fasilitas umum seperti ini.


Kondisi fisik toilet memang tidak sepenuhnya bermasalah tidak becek dan relatif bersih. Namun suasananya jauh dari kata ideal. Udara pengap dan bau yang khas dari toilet umum masih sering tercium. Beberapa mahasiswa juga mengeluhkan air di bak yang kotor dan terkadang berlendir. “Bersih sih, tapi tetep bau. Bak airnya juga kadang masih ada lumut atau kotoran nempel. Jadi ya… mau nggak mau harus buru-buru keluar,” ungkap Salwa, mahasiswa yang juga sering menggunakan fasilitas toilet tersebut.


Menurut Riza Irwanda, petugas kebersihan yang sudah bekerja di lingkungan fakultas ini, toilet dibersihkan setiap hari. “Biasanya pagi-pagi, kita ngepel dan nyiram. Kalau bak airnya tergantung, bisa dua sampai tiga kali seminggu dibersihkan, tapi liat juga kondisi air. Kalau hujan, airnya keruh jadi nggak bisa langsung,” jelasnya saat ditemui di sela tugasnya. Ia juga mengakui bahwa lampu toilet sering mati dan sudah beberapa kali dilaporkan ke pihak biro. “Cuma ya gitu, sekarang semua harus tunggu dari biro dulu. Kadang lama juga, karena soal dana,” tambahnya.


Masalah ini sejatinya bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga soal keamanan. Toilet gelap dapat meningkatkan risiko kecelakaan kecil seperti terpeleset, terutama jika ada genangan air yang tak terlihat. Di sisi lain, minimnya pencahayaan juga menimbulkan rasa waswas. Meski kunci pintunya dalam kondisi aman, beberapa mahasiswa mengaku agak kesulitan saat menguncinya. “Kayak keras gitu lho, harus ditekan pelan-pelan. Tapi aman kok,” kata Rey, mahasiswa yang sering menggunakan toilet tersebut.


Persoalan seperti ini bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya, fokus perawatan hanya tertuju pada aspek fisik seperti kebersihan, tanpa memerhatikan faktor kenyamanan jangka panjang. Mungkin juga karena laporan mahasiswa belum dianggap prioritas, sehingga solusi pun tertunda terus.


Idealnya, pihak fakultas perlu segera melakukan pengecekan menyeluruh terhadap fasilitas toilet. Mulai dari pencahayaan, ventilasi, hingga kualitas air di bak penampungan. Perbaikan kecil seperti mengganti bohlam dan membersihkan bak air secara rutin bisa memberikan dampak besar terhadap kenyamanan pengguna. Di sisi lain, mahasiswa juga sebaiknya aktif menyuarakan kebutuhan mereka, entah melalui BEM, media kampus, maupun forum resmi fakultas.


Toilet bukan hanya sekadar tempat buang air, tapi juga tempat bersuci dan menjaga kebersihan diri. Maka, penting bagi kampus untuk menghadirkan fasilitas yang tidak hanya bersih, tapi juga aman dan ramah digunakan. Jika dakwah berbicara soal ketenangan dan kenyamanan, maka sudah semestinya ruang-ruang di Fakultas Dakwah juga mencerminkan nilai-nilai tersebut.

Kamis, 01 Mei 2025

Toilet Wangi, Sampah Terkendali: Terminal Haice Batoh Bersolek dari Dalam

Batoh,Banda Aceh, 1 Mei 2025 — Terminal Haice Batoh yang dulunya sempat dikenal semrawut, kini mulai tampil beda. Perlahan namun pasti, wajah baru terminal ini makin terlihat bersih, rapi, dan nyaman bagi para penggunanya. Salah satu perubahan paling mencolok adalah kondisi toilet yang kini tidak hanya bersih, tapi juga harum dan layak pakai. Semua ini tak lepas dari kepemimpinan baru di bawah Kepala Terminal, Amir Hamzah (56), yang mulai menjabat sejak sekitar 10 bulan lalu.

Dalam wawancara yang saya lakukan langsung di lokasi, Bapak Amir menjelaskan bahwa sejak hari pertama menjabat, ia langsung melakukan penataan terhadap sistem kerja kebersihan. Ia menyebut bahwa persoalan bukan hanya pada fasilitas, tapi juga pada pola kerja dan sikap pegawai. “Kadang bukan karena alatnya kurang, tapi karena tanggung jawab yang nggak jelas. Jadi saya harus langsung turun tangan. Kalau nggak kita yang ubah, siapa lagi?” ujarnya.

Saya pun meninjau langsung ke lapangan dan melihat sendiri bahwa pernyataan itu bukan sekadar klaim. Toilet yang dulunya jadi keluhan kini terlihat sangat terawat. Tidak ada lagi aroma tak sedap, dan lantainya pun bersih. Di beberapa sudut terminal memang masih terlihat sampah, namun kebanyakan berupa daun-daun kering yang jatuh dari pohon — bukan tumpukan plastik atau limbah lainnya. Ini menunjukkan bahwa sampah masih ada, tapi dalam kategori alami dan bisa langsung dibersihkan oleh petugas.

Menurut keterangan yang saya terima dari petugas loket bernama Habil (21), pembersihan terminal dilakukan tiga kali dalam seminggu. Namun dalam praktiknya, petugas kebersihan tetap beroperasi tiga kali dalam sehari, yaitu pagi, sore, dan malam. Sistem ini membuat area terminal bisa terjaga kebersihannya meskipun banyak aktivitas keluar masuk kendaraan dan penumpang.

Namun begitu, tantangan tetap ada. Habil menggarisbawahi bahwa perubahan fisik dan fasilitas saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kesadaran para pengguna. “Masalahnya sekarang itu bukan di petugas lagi. Mereka udah kerja. Tapi kadang sopir atau orang-orang di sini masih buang sampah sembarangan. Kesadaran itu yang belum rata,” jelasnya.

Transformasi yang sedang berlangsung di Terminal Haice Batoh merupakan langkah positif yang patut diapresiasi. Meski belum sempurna, perubahan ini membuktikan bahwa dengan kepemimpinan yang tegas dan pelibatan semua pihak, fasilitas publik seperti terminal bisa ditata kembali menjadi ruang yang lebih manusiawi dan menyenangkan. Semoga ke depan, bukan hanya kebersihannya yang terjaga, tapi juga budaya bersih dari semua pihak makin tumbuh kuat.

Jumat, 04 April 2025

Pante Gemasih Jadi Pilihan Favorit untuk Camping dan Glamping saat Libur Lebaran

 

Takengon – Libur lebaran di Takengon, Aceh Tengah, bukan cuma soal silaturahmi dan makan lontong, tapi juga jadi momen buat rehat sejenak dari rutinitas. Salah satu tempat yang ramai diserbu wisatawan lokal hingga luar kota adalah Pante Gemasih, lokasi wisata alam yang terletak di pinggir Danau Lut Tawar.

Sejak H+2 Lebaran, hampir seluruh villa yang berada di sekitar Danau Lut Tawar sudah penuh dengan pengunjung. Beberapa di antaranya bahkan sudah dipesan jauh-jauh hari sebelum Lebaran.

“Dari seminggu sebelum Lebaran, booking-an udah penuh. Ada yang dari Medan, Lhokseumawe, Banda Aceh juga. Biasanya orang  ke sini mau lihat pemandangan danau, refreshing sama keluarga,” kata Mukhlis (62), pemilik tempat wisata Pante Gemasih di kawasan Danau Lut Tawar, tepatnya di Desa Kelitu..

Yang bikin Pante Gemasih makin hits tahun ini adalah tren camping dan glamping—alias camping versi mewah yang tetap nyatu sama alam tapi tetap nyaman. Area ini dipadati pengunjung sejak hari kedua lebaran, mulai dari keluarga muda sampai anak-anak muda yang cari spot healing.

Di bawah area villa, tepatnya di Pante Gemasih, tersedia juga area camping yang cukup luas dan langsung menghadap Danau Lut Tawar. Menariknya, bagi pengunjung yang tidak membawa tenda sendiri, pihak pengelola sudah menyediakan fasilitas penyewaan tenda.

“Kita sediakan tenda lengkap sama matras, jadi tamu nggak perlu repot bawa sendiri. Tinggal datang, langsung bisa camping,” kata Mukhlis (62), pemilik Villa Pante Gemasih yang juga mengelola area glamping di sana.

Tenda-tenda warna-warni berdiri rapi di bawah villa, menghadap langsung ke Danau Lut Tawar. Saat sore hari, pengunjung bisa menikmati sunset sambil ngopi di depan tenda. Bahkan ada yang sengaja datang cuma buat duduk-duduk dan foto-foto karena view-nya memang sangat cantik.

Glamping di sini cocok buat yang pengen suasana alam tapi nggak mau ribet. Tapi, kalau camping biasa, tetap bisa bawa tenda sendiri juga. Cuma ya, untuk alat-alat seperti lampu, selimut, atau alat masak, tetap harus disiapkan sendiri.

Salah satu pengunjung asal Medan, Borna Sembiring, bilang dia tertarik datang ke Pante Gemasih gara-gara lihat dari story temannya.

“View-nya tenang, dingin, pas kali buat ngilangin capek. Danau ini cakep, tendanya juga udah ready. Kalau di Medan jarang yang begini,” ucapnya sambil membongkar tas ransel.

Tak hanya penginapan dan camping, wisata alam seperti arung jeram di Lukup Badak juga dipadati wisatawan yang ingin mencoba sensasi mengarungi derasnya aliran sungai di tengah sejuknya udara Takengon.

“Betul-betul rame kali tahun ini! Dari sebelum Lebaran udah banyak kali yang booking, mana penuh semua tempat. Biasanya kan kalau Lebaran kayak gini memang banyak yang cari aktivitas seru, makanya arung jeram selalu habis laku,” ujar Alfi (22), salah satu pemandu wisata arung jeram.


Jumat, 28 Februari 2025

Liputan Lapangan Meugang

Meugang 2025: Warga Serbu Pedagang Daging di Sepanjang Jalan Beurawe


Banda Aceh, 10 Maret 2025 – Tradisi Meugang jelang Ramadhan kembali meramaikan suasana di Banda Aceh. Di sepanjang Jl. Teuku Iskandar, Beurawe, warga berbondong-bondong membeli daging meski harga melonjak.

Sejak pagi, pedagang daging memenuhi tepi jalan, melayani pelanggan yang antre untuk mendapatkan daging segar. Harga daging sapi yang biasanya Rp150 ribu per kg kini naik menjadi Rp180 ribu per kg.

"Meugang gak ada daging itu dik nggak lengkap, walaupunkan mahal tetap kami beli. Cuma ya kalau bisa sih jangan naik tinggi kali," ujar Bu Fatimah (50), warga Beurawe yang rutin berbelanja setiap Meugang.

Di sisi lain, pedagang daging mengakui kenaikan harga terjadi karena permintaan meningkat drastis. "Tiap tahun emang kayak gini dik, banyak yang beli, jadi harga naik. Tapi aman aja kalo stok daging, pasti cukup lah sampai sore," kata Bang Ridwan (45), pedagang daging di lokasi.

Selain daging sapi, ayam dan ikan juga mengalami kenaikan harga. "Ayamni kan yang biasanya Rp35 ribu, sekarang udah jadi Rp45 ribu per ekor dik. Tapi ya tetap laku, karenakan orang banyak yang cari alternatif, kalau daging kan mahal kali" kata Nur (35), pedagang ayam.

Tak hanya daging, warga juga menyerbu pedagang bumbu dapur. "Orang Aceh kalau masak Meugang bumbunya harus lengkap dik. Orang beli lengkuas, serai, cabai giling, sampai santan buat rendang, makannya laku kali kalau udah masuk masa meugang" ujar Mak Ani (55), penjual bumbu.

Pantauan di lapangan, aktivitas jual beli berlangsung ramai hingga siang hari. Menjelang sore, kepadatan mulai berkurang. Dan malam haripun tak kalah ramai warga yang masih ingin membeli daging meugang. Namun, aroma daging segar dan bumbu masakan yang menyeruak di udara menjadi tanda bahwa semangat Meugang tetap hidup di hati masyarakat Aceh.

Di beberapa rumah, suara ulekan terdengar dari dapur, menumbuk bumbu untuk memasak rendang dan gulai khas Meugang. Para ibu sibuk menyiapkan hidangan terbaik untuk keluarga, sementara anak-anak menunggu dengan antusias.

Meski harga daging melonjak, tak ada yang ingin melewatkan tradisi ini. Bagi masyarakat Aceh, Meugang bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang kebersamaan dan keberkahan menyambut bulan suci Ramadhan.

 

Opini: Aceh dalam Banjir 2025 – Ketika Manusia dan Solidaritas Diuji

Desember 2025 di Aceh bukan sekadar musim hujan. Ini adalah bulan di mana air tiba-tiba menguasai hidup orang-orang. Sungai-sungai meluap, j...